BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kita sering mendengar banyak perusahaan yang
terpuruk karena tata pemerintahan sebuah perusahaan tersebut tidak baik
sehingga banyak fraud atau praktik korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN) yang terjadi, sehingga terjadinya krisis ekonomi dan krisis kepercayaan
para investor, yang mengakibatkan tidak ada investor yang mau membeli
saham perusahaan tersebut. artinya,bisa dikatakan jika perusahaan tersebut
tidak menerapkan Corporate Governance dengan baik. Oleh karena itu, undang-undang ini menjadi acuan
awal dalam penjabaran dan penciptaan GCG di berbagai negara. Good Corporate
Governance dimaksudkan agar tata kelola perusahaan baik sehingga bisa
meminimalisir praktek-prakter kecurangan.
Joel
Balkan (2002) mengatakan bahwa perusahaan (korporasi) saat ini telah berkembang
dari sesuatu yang relative tidak jelas menjadi institusi ekonomi dunia yang
amat dominan. Kekuatan tersebut terkadang mampu mendikte hingga ke dalam
pemerintahan suatu negara, sehingga mejadi tidak berdaya dalam menghadapi
penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh para pelaku bisnis yang
berpengaruh tersebut. Semua itu terjadi karena perilaku tidak etis dan
bahkan cenderung kriminal-yang dilakukan oleh para pelaku bisnis yang memang
dimungkinkan karena kekuatan mereka yang sangat besar disatu sisi, dan
ketidakberdayaan aparat pemerintah dalam menegakkan hukum dan pengawasan atas
perilaku para pelaku bisnis tersebut; disamping berbagai praktik tata kelola
perusahaan dan pemerintahan yang buruk.
Dalam corporate governance
selalu ada dua hal yang perlu diperhatikan. Apakah aturan atau sistem
tata-kelola sudah ada secara jelas, lengkap, dan tertulis ? Apakah aturan dan
sistem yang sudah jelas tersebut dilaksanakan dengan konsisten atau tidak ?
Kedua hal tersebutlah yang menentukan apakah sudah ada good corporate
governance dalam suatu perusahaan.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Latar belakang munculnya GCG ?
2.
Pengertian GCG ?
3.
Prinsip GCG ?
4.
Manfaat GCG ?
5.
GCG dan hukum perseroan di Indonesia ?
6.
Organisasi khusus dalam penerapan GCG ?
7.
GCG dalam BUMN ?
8.
GCG dalam pengawasan pasar modal ?
9.
GCG perbankan Indonesia ?
1.3
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui latar belakang munculnya GCG
2.
Untuk mengetahui pengertian GCG
3.
Untuk mengetahui prinsip GCG
4.
Untuk mengetahui manfaat GCG
5.
Untuk mengetahui GCG dan hukum perseroan di Indonesia
6.
Untuk mengetahui Organisasi khusus dalam penerapan GCG
7.
Untuk mengetahui GCG dalam BUMN
8.
Untuk Mengetahui GCG dalam pengawasan pasar modal
9.
Untuk mengetahui GCG perbankan Indonesia
1.4 Manfaat Penulisan
·
Dalam penyusunan makalah ini, kami tim penulis atau
kelompok yang membahas tentang Good Corporate Governance (GCG) , berharap dalam makalah ini bisa
bermanfaat untuk jangka panjang maupun jangka pendeknya sebagai informasi yang
sangat berharga.
·
Dalam Good Corporate Governance (GCG) pun dapat diambil banyak manfaatnya,
dengan menata atau mengelola perusahaan dengan baik agar terhindar dari adanya
KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) yang dapat merugikan perusahaan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Latar belakang munculnya GCG
Good Corporate Governance atau
dikenal dengan nama Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (selanjutnya disebut
“GCG”) muncul tidak semata-mata karena adanya kesadaran akan pentingnya konsep
GCG namun dilatar belakangi oleh maraknya skandal perusahaan yang menimpa
perusahaan-perusahaan besar. Joel Balkan (2002) mengatakan bahwa perusahaan
(korporasi) saat ini telah berkembang dari sesuatu yang relative tidak jelas
menjadi institusi ekonomi dunia yang amat dominan. Kekuatan tersebut terkadang
mampu mendikte hingga ke dalam pemerintahan suatu negara, sehingga mejadi tidak
berdaya dalam menghadapi penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh para
pelaku bisnis yang berpengaruh tersebut. Semua itu terjadi karena
perilaku tidak etis dan bahkan cenderung kriminal-yang dilakukan oleh para pelaku
bisnis yang memang dimungkinkan karena kekuatan mereka yang sangat besar disatu
sisi, dan ketidakberdayaan aparat pemerintah dalam menegakkan hukum dan
pengawasan atas perilaku para pelaku bisnis tersebut; disamping berbagai
praktik tata kelola perusahaan dan pemerintahan yang buruk.
Salah satu dampak
signifikan yang terjadi adalah krisis ekonomi di suatu negara, dan timbulnya
praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Sebagai akibat adanya tata kelola
perusahaan yang buruk oleh perusahan-perusahaan besar yangmana mengakibatkan
terjadinya krisis ekonomi dan krisis kepercayaan para investor, seperti yang
terjadi di Amerika pada awal tahun 2000 dan tahun 2008 yang mengakibatkan
runtuhnya beberapa perusahan besar dan ternama dunia; disamping juga menyebabkan
krisis global dibeberapa belahan negara dunia. Sebagai contoh, untuk mengatasi
krisis tersebut, pemerintah amerika mengeluarkan Sarbanes-Oxley Act tahun 2002;
undang-undang dimaksud berisikan penataan kembali akuntansi perusahaan publik,
tata kelola perusahaan dan perlindungan terhadap investor. Oleh karena itu,
undang-undang ini menjadi acuan awal dalam penjabaran dan penciptaan GCG di
berbagai negara.
Konsep GCG belakangan ini
makin mendapat perhatian masyarakat dikarenakan GCG memperjelas dan mempertegas
mekanisme hubungan antar para pemangku kepentingan di dalam suatu organisasi
yang mencakup :
- hak-hak
para pemegang saham (shareholders) dan perlindungannya,
- peran para
karyawan dan pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders)
lainnya,
- pengungkapan
(disclosure) yang akurat dan tepat waktu,
- transparansi
terkait dengan struktur dan operasi perusahaan,
- tanggungjawab
dewan komisaris dan direksi terhadap perusahaan itu sendiri, kepada para
pemegang saham dan pihak lain yang berkepentingan.
2.2
Pengertian GCG
Pada awalnya, istilah “Corporate
Governance” pertama kali dikenalkan oleh Cadbury Committee di Inggris tahun
1922 yang menggunakan istilah dimaksud dalam laporannya yang dikenal
dengan Cadbury Report (dalam sukrisno Agoes, 2006). Berikut
disajikan beberapa definisi “Corporate Governance” dari beberapa sumber,
diantaranya:
- Cadbury
Committee of United Kingdom
A set of rules that define the relationship between
shareholders, managers, creditors, the goverment, employees, and other internal
and external stakeholders in respect to their right and responsibilities, or
the system by which companies are directed and controlled.
- Forum for
Corporate Governance in Indonesia (FCGI-2006)
FCGI tidak membuat definisi sendiri, namun mengadopsi
definisi Cadbury Committee of United Kingdom dan menerjemahkan “Seperangkat
peraturan yang mengatur hubungan antar pemegang saham, pengurus (pengelola)
perusahaan, kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan
internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban
mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan
perusahaan”.
- Sukrisno
Agoes (2006)
Tata kelola perusahaan yang baik sebagai suatu sistem
yang mengatur hubungan peran dewan komisaris, para direksi, pemegang saham, dan
pemangku kepentingan lainnya. Tata kelola perusahaan yang baik juga disebut
sebagai suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan,
pencapaiannya, dan penilaian kinerjanya.
- Organization
for Economics Cooperation and Development (OECD)
(dalam
Tjager dkk, 2004)
The structure through which shareholders, directors,
managers, set of the board objectives of the company, the means of attaining
those objectives and monitoring performance. [Suatu struktur yang
terdiri atas para pemegang saham, direktur, manager, seperangkat tujuan yang
ingin dicapai perusahaan, dan alat-alat yang akan digunakan dalam mencapai
tujuan dan memantau kinerja.
- Wahyudi
Prakarsa (dalam Sukrisno Agoes, 2006)
Mekanisme adninistratif yang mengatur hubungan-hubungan
antara manajemen perusahaan, komisaris, direksi, pemegang saham, dan
kelompok-kelompok kepentingan (stakeholders) yang lain.
Hubungan-hubungan ini dimanifestasikan dalam bentuk berbagai aturan (prosedur)
dan sistem insentif sebagai kerangka kerja (framework) yang diperlukan
untuk mencapai tujuan perusahaan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut,
serta pemantauan atas kinerja yang dihasilkan.
Berdasarkan beberapa
definisi tersebut, pada intinya konsep GCG mengandung pengertian yang berintikan
4 point, yaitu:
1.
Wadah
Organisasi (perusahaan, sosial, pemerintahan).
2.
Model
Suatu
sistem, proses, dan seperangkat peraturan, termasuk prinsip-prinsip, serta
nilai-nilai yang meladasi praktik bisnis yang sehat.
3. Tujuan
a.
Meningkatkan kinerja organisasi,
b.
Menciptakan nilai tambah bagi semua pemangku
kepentingan,
c.
Mencegah dan mengurangi manipulasi serta
kesalahan yang signifikan dalam pengelolaan organisasi,
d.
Meningkatkan upaya agar para pemangku
kepentingan tidak dirugikan.
4.
Mekanisme
Mengatur
dan mempertegas kembali hubungan, peran, wewenang,
dan
tanggung jawab :
a.
Dalam arti sempit
Antar
pemilik atau pemegang saham, dewan komisaris dan direksi.
b.
Dalam arti luas
Antar
seluruh pemangku kepentingan.
2.3
Prinsip GCG
Good Corporate Governance merupakan
gabungan prinsip-prinsip dasar dalam membangun suatu tatanan etika kerja dan
kerjasama agar tercapai rasa kebersamaan, keadilan, optimasi dan harmonisasi
hubungan sehingga dapat menuju kepada tingkat perkembangan yang penuh dalam
suatu organisasi atau badan usaha.
Prinsip-prinsip dasar tersebut meliputi hal-hal
sebagai berikut :
- Vision
Pengembangan
suatu organisasi atau badan usaha harus didasarkan pada adanya visi &
strategi yang jelas dan didukung oleh adanya partisipasi dari seluruh anggota
dalam proses pengambilan keputusan, pelaksanaan dan pengembangan supaya semua
pihak akan merasa memiliki dan tanggungjawab dalam kemajuan organisasi
atau usahanya.
- Participation
Dalam
proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan hasil keputusan suatu organisasi
atau badan usaha sedapat-dapatnya melibatkan pihak-pihak terkait dan relevan
melalui sistem yang terbuka dan dengan jaminan adanya hak berasosiasi dan
penyampaian pendapat.
- Equality
Suatu
badan usaha atau organisasi yang baik selalu akan member dan menyediakan peluang
yang sama bagi semua anggota atau pihak terkait bagi peningkatan kesejahteraan
melalui usaha bersama di dalam etika usaha yang baik.
- Professional
Dalam
bahasa sehari-hari professional diartikan “One who engaged in alearned
vocation (Seseorang yang terikat dalam suatu lapangan pekerjaan)”.
Dalam konteks ini professional lebih dikaitkan dengan peningkatan kapasitas
kompetensi dan juga moral sehingga pelayanan dapat dilakukan dengan mudah,
cepat dan akurat.
- Supervision
Meningkatkan
usaha-usaha supervisi terhadap semua aktivitas usaha atau organisasi sehingga
tujuan bersama dapat dicapai secara optimal, efektif dan efisien, serta untuk
meminimalkan potensi kesalahan atau penyimpangan yang mungkin timbul.
- Effective
& Efficient
Effective berarti
“do the things right”, lebih berorientasi pada hasil, sedangkan efficient berarti
“do the right things”, lebih berorientasi pada proses. Apapun yang
direncanakan dan dijalankan oleh suatu organisasi atau badan usaha harus
bersifat efektif dan efisien.
- Transparent
Dalam
konteks good governance, transparency lebih
diartikan membangun kepercayaan yang saling menguntungkan antara pemerintah
atau pengelola dengan masyarakat atau anggotanya melalui ketersediaan informasi
yang mudah diakses, lengkap dan up to date.
- Accountability/Accountable
Dalam
konteks pembicaraan ini accountability lebih difokuskan dalam meningkatkan
tanggungjawab dari pembuat keputusan yang lebih diarahkan dalam menjawab
kepentingan publik atau anggota.
- Fairness
Dalam
konteks good governance maka fairness lebih
diartikan sebagai aturan hukum harus ditegakan secara adil dan tidak memihak
bagi apapun, untuk siapapun dan oleh pihak manapun.
- Honest
Policy,
strategi, program, aktivitas dan pelaporan suatu organisasi atau badan usaha
harus dapat dijalankan secara jujur. Segala jenis ketidak-jujuran pada akhirnya
akan selalu terbongkar dan merusak tatanan usaha dan kemitraan yang telah dan
sedang dibangun. Tanpa kejujuran mustahil dapat dibangun trust dan long
term partnership.
- Responsibility
& Social Responsibility
Institusi
dan proses pelayanan bagi kepentingan semua pihak terkait harus dijalankan
dalam kerangka waktu yang jelas dan sistematis. Sebagai warga suatu organisasi,
badan usaha dan/atau masyarakat, semua pihak terkait mempunyai tanggungjawab
masing-masing dalam menjalankan tugasnya dan juga harus memberi
pertanggungjawaban kepada publik, sehingga di dalam suatu tatanan atau
komunitas dapat terjadi saling mempercayai, membantu, membangun dan
mengingatkan agar terjalin hubungan yang harmonis dan sinergis.
Sedangkan lebih sempit
lagi, menurut OECD, prinsip dasar GCG yang dikembangkan adalah :
a.
perlakuan yang setara antar pemangku
kepentingan (fairness),
b.
transparansi,
c.
akuntabilitas, dan
d.
responsibilitas
Disamping itu, dalam
kaitannya dengan tata kelola BUMN, Menteri Negara BUMN juga mengeluarkan
keputusan KEP-117/M-MBU/2002 tentang prinsip GCG, diantaranya:
- Kewajaran
Prinsip
agar para pegelola memperlakukan pemangku kepentingan secara adil dan
setara, baik pemangku kepentingan primer (pemasok, pelanggan, karyawan, dan
pemodal) maupun sekunder (pemerintah, masyarakat, dan pihak lain). Prinsip
inilah yang memunculkan konsep pengedepanan kepentingan atas stakeholders dan
bukan hanya shareholders.
- Transparansi
Kewajiban
bagi para pengelola untuk menjalankan prinsip keterbukaan dalam proses
keputusan dan penyampaian informasi. Lebih dalam bahwa, informasi yang
disampaikan harus lengkap, benar, dan tepat waktu kepada semua pemangku
kepentingan, tidak boleh ada hal-hal tertentu yang dirahasiakan, disembunyikan,
ditutup-tutupi, maupun ditunda-tunda pengungkapannya.
- Akuntabilitas
Kewajiban
bagi para pengelola untuk membina sistem akuntansi yang efektif untuk
menghasilkan laporan keuangan yang dapat dipercaya (reliable) dan
berkualitas.
- Responsibilitas
Kewajiban
para pengelola untuk memberikan pertanggungjawaban atas semua tindakan dalam
pengelolaan perusahaan kepada para pemangku kepentingan sebagai wujud
kepercayaan dan wewenang yang telah diberikan.
Pertanggungjawaban ini
setidaknya mencakup dimensi :
a.
Ekonomi
Diwujudkan dalam bentuk pemberian keuntungan ekonomis bagi
pemangku kepentingan,
b.
Hukum
Diwujudkan
dalam bentuk kepatuhan terhadap hukum dan peraturan-peraturan
yang berlaku ,
c.
Moral
Diwujudkan
dalam bentuk pertanggungjawaban tersebut dapat dirasakansecara menyeluruh dan
adil bagi semua pemangku kepentingan,
d.
Sosial
Diwujudkan dalam bentuk Corporate Social
Responsibility (CSR) sebagai wujud kepedulian
terhadap kesejahteraan masyarakat dan kelestarian alam di lingkungan
perusahaan,
e.
Spiritual
Diwujudkan dalam bentuk sejauh mana tindakan manajemen telah mampu mewujudkan aktualisasi diri atau telah dirasakan sebagai
bagian dari ibadah sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya.
- Kemandirian
Suatu keadaan dimana para pengelola dalam mengambil suatu
keputusan bersifat profesional, mandiri, bebas dari konflik kepentingan, bebas
dari tekanan serta pengaruh dari pihak manapun yang bertentangan dengan
perundangan yang berlaku dan prinsip pengelolaan yang sehat.
Kebutuhan tata kelola etis tidak hanya baik bagi bisnis
perusahaan. Perubahan-perubahan terkini pada regulasi pemerintahan merubah
ekspektasi secara signifikan. Dalam era meningkatkan pengawasan, dimana
perilaku tidak etis dapat mempengaruhi pencapaian tujuan perusahaan secara
keseluruhan, sangat dibutuhkan sistem tata kelola perusahaan yang menyediakan
aturan serta akuntabilitas yang tepat untuk kepentinganshareholders,
direktur, dan eksekutif.
Direktur harus cermat dalam mengatur risiko bisnis dan
etika perusahaannya. Mereka harus memastikan bahwa budaya etis telah berjalan
dengan efektif dalam perusahaan. Hal ini membutuhkan pengembangan code
of conduct, dan cara yang paling fundamental dalam menciptakan pemahaman
mengenai perilaku yang tepat, memperkuat perilaku tersebut, dan meyakinkan
bahwa nilai yang mendasarinya dilekatkan pada strategi dan operasi perusahaan.
Konflik kepentingan dalam perusahaan, kekerasan seksual, dan topik–topik serupa
perlu diatasi segera dengan pengawasan yang memadai untuk menjaga agar budaya
perusahaan sejalan dengan ekspektasi saat ini.
Peristiwa Enron, Arthur Andersen, dan WorldCom mengubah
fokus akuntan profesional terhadap perannya sebagai orang yang dipercaya oleh
publik. Reputasi dan eksistensi profesi akuntan di masa depan telah menurun di
mata publik, sehingga perbaikan serta kesuksesannya kembali tergantung pada
perubahan yang akan dilakukan.
Profesi akuntan harus mengembangkan pertimbangan, nilai,
dan sifat karakter yang mencakup kepentingan publik, dimana pertimbangan
tersebut inheren dengan munculnya akuntabilitas berorientasi stakeholder dan
kerangka tata kelola (governance framework). Standar code of
conduct yang baru muncul untuk menuntun profesi akuntan serta
memastikan bahwa self-interest, bias, dan kesalahpahaman tidak
menutupi independensinya.
Globalisasi mulai mempengaruhi perkembangan aturan dan
harmonisasi standar akuntan profesional, dan hal ini akan terus berkelanjutan.
Sama seperti mekanisme tata kelola untuk korporasi yang menghasilkan batasan
dan yurisdiksi domestik, stakeholders di seluruh dunia akan
lebih mengutamakan dalam menentukan standar kinerja bagi profesi akuntan.
Pekerjaan mereka akan melayani pasar modal dan korporasi global, dan
kesuksesannya membutuhkan respek dari karyawan dan partner yang lebih banyak
dibandingkan dahulu. Dengan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki, akan
menarik apabila akuntan profesional dapat menggunakan kesempatan yang
menunjukkan perannya yang lebih luas.
2.4
Manfaat GCG
Penerapan konsep GCG
merupakan salah satu upaya untuk memulihkan kepercayaan terhadap investor dan
institusi terkait di pasar modal. Menurut Tjager dkk (2003) mengatakan bahwa
paling tidak ada lima alasan mengapa mengapa penerapan GCG itu bermanfaat,
yaitu:
1. Berdasarka survey yang
telah dilakukan oleh McKinsey & Company menunjukkan bahwa para investor
institusional lebih menaruh kepercayaan terhadap perusahaan-perusahaan di Asia
yang telah menerapkan GCG.
2. Berdasarkan berbagai
analisis ternyata ada indikasi keterkaitan antara terjadinya krisis financial
dan krisis berkepanjangan di Asia denngan lemahnya tata kelola perusahaan.
3. Internasionalisasi pasar
– termasuk liberalisasi pasar financial dan pasar modal menuntut perusahaan
untuk menerapkan GCG.
4. Kalau GCG bukan obat
mujarab untuk keluar dari krisis system ini dapat menjadi dasar bagi
beberkembangnya system nilai baru yang lebih sesuai dengan lanskap bisnis yang
kini telah banyak berubah.
5. Secara teoris, praktik
GCG dapat meningkatkan nilai perusahaan.
Menurut
Mas Ahmad Daniri (2005;14) jika perusahaan menerapkan mekanisme penerapan Good
Corporate Governance (GCG) secara konsisten dan efektif maka akan dapat
memberikan manfaat antara lain:
6. Mengurangi agency
cost, yaitu suatu biaya yang harus ditanggung oleh pemegang saham akibat
pendelegasian wewenang kepada pihak manajemen.
7. Mengurangi biaya modal
(Cost of Capital).
8. Meningkatkan nilai saham
perusahaan di mata publik dalam jangka panjang.
9. Menciptakan dukungan
para stakeholder dalam lingkungan perusahaan terhadap keberadaan perusahaan dan
berbagai strategi dan kebijakan yang ditempuh perusahaan.
2.5 GCG dan hukum perseroan di Indonesia
Kegiatan perusahaan (perseroan) di
Indonesia didasarkan atas paying hokum Undang-Undang Nomor 1 tahun 1995 tentan perseroan
terbatas. Namun Undang-Undang ini kemudian dicabut dan diganti dengan
Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007. Sebagimana diatur dalam Pasal 1 ayat 1 UU
Nomor 40 Tahun 2007, yang dimaksud dengan perseroan adalah badan hokum yang
merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan
kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan
pelaksanaannya.
Dalam penjelasan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 40 Tahun 2007, dikatakan alasan pencabutan Undang-Undang Nomor
1 tahun 1995 untuk diganti dengan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007.
pertimbangan tersebut antar alain karena adanya perubahan dan perkembangan yang
cepat berkaitan dengan teknologi, ekonomi, harapan masyarakat tentang perlunya
peningkatan pelayanan dan kepastian hokum, kesadaran social dan lingkungan,
serta tuntutan pengelolaan usaha yang sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan
perusahaan yang baik.
Ketentuan
yang disempurnakan ini, antara lain:
1. Dimungkinkan
mengadakan RUPS dengan memanfaatkan teknologi informasi yang ada, seperti:
telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya (Pasal
77).
2. Kejelasan
mengenai tata cara pengajuan dan pemberian pengesahan status badan hukum dan
pengesahan Anggran dasar Perseroan.
3. Memperjelas
dan mempertegas tugas dan tanggung jawab direksi dan dewan komisaris, termasuk
mengatur mengenai komisaris independent dan komisaris utusan
4. Kewajiban
perseroan untuk melaksanakan tanggung jawab social dan lingkungan.
Undang-Undang perseroan terbatas Nomor
40 Tahun 2007 tidak mengatur secara eksplisit tentang GCG. Meskipun begitu,
Undang-Undang ini mengatur secara garis besar tentang mekanisme hubungan,
peran, wewenang, tugas dan tanggung jawab, prosedur dan tata cara rapat, serta
proses pengambilan keputusan dan organ minimal yang harus ada dalam perseroan,
yaitu Rapat Umum Pemegang saham (RUPS), direksi, dan Dewan Komisaris.
Wewenang
dari ketiga organ ini diatur dalam Bab I Pasal 1 sebagai berikut:
Ayat 4 Rapat
umum pemegang saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah Organ Perseroan yang
mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada direksi atau Dewan Komisaris
dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar.
Ayat 5 Direksi
adalah Organ Perseoran yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas
pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan
tujuanperseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun diluar
pengadilan sesuai dengan ketentuan anggran dasar.
Ayat 6 Dewan
komisaris adalan Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum
dan atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasehat kepada
direksi.
Secara spesifik, wewenang, tugas dan
tanggung jawab ketiga organ ini dapat diringkas sebagai berikut:
1. RUPS
a. Menyetujui
dan menetapkan Anggaran Dasar Perusahaan (Pasal 19 ayat 1)
b. Menyetujui
pembelian kembali dan pengalihan saham Perseroan (Pasal 38 ayat 1)
c. Menyetujui
penambahan dan pengurangan modal Perseroan (Pasal 41 ayat 1 dan Pasal 44 ayat
1)
d. Menyetujui
dan mengesahkan laporan tahunan termasuk laporan keuangan Direksi serta laporan
tugas pengawasan Komisaris (Pasal 69)
e. Menyetujui
dan menetapkan penggunaan laba bersih, penyisihan cadangan dan dividen, serta
dividen interim (Pasal 71 dan Pasal 72).
f. Menyetujui
penggabungan, peleburan, pengambilalihan atau pemisahan, pengajuan pailit,
perpanjang jangka waktu berdirinya, dan pembubaran perseroan (Pasal 89).
g. Menyetujui
pengangkatan dan pemberhentian anggota Direksi dan Komisaris (Pasal 94 dan
Pasal 111)
h. Menetapakan
besarnya gaji dan tunjangan anggota Direksi dan Komisaris (Psala 96 dan Pasal
113).
2. Dewan
Komisaris
- Melakukan
tugas dan tanggung jawab pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya
pengurusan pada umumnya, dan memberikan nasehat kepada Direksi (Pasal 108
dan Pasal 114).
- Bertanggung
jawab rentang secara pribadi atas kerugian perseroan bila yang
bersangkutan atau lalai dalam menjalankan tugasnya (Pasal 114 ayat 3 dan
ayat 4).
- Bertanggung
jawab renteng secara pribadi atas kepailitan perseroan bila disebabkan
oleh kesalahan dan kelalian dalam menjalankan tugas pengawasan dan pemberi
nasehat (Pasal 115).
- Diberi
wewenang untuk membrntuk komite yang diperlukan untuk mendukung tugas
Dewan Komiaris.
3. Dewan
Direksi
- Menjalankan
pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan sesuai dengan kebijakan
yang dianggap tepat dalam batas yang ditetapkan Undang-Undang dan Anggaran
Dasar Perseroan (Pasal 92)
- Bertanggung
jawab renteng dan penuh secara pribadi atas kerugian perseroan bila yang
bersangkutan bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya (Pasal 97)
- Mewakili
perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan (Pasal 98)
- Wajib
membuat daftar pemegang saham, risalah RUPS, dan risalah rapat direksi
(Pasal 100 ayat 1a)
- Wajib
membuat laporan tahunan (Pasal 100 ayat 1b)
- Wajib
memelihara seluruh daftar, risalah, dokumen keuangan dan dokumen perseroan
lainnya ditempat kedudukan Perseroan (Pasal 1c dan Pasal 2)
- Wajib
meminta peesrtujuan RUPS untuk mengalihkan kekayaan Perseroan atau
menjadikan jaminan utang Perseroan (Pasal 102)
Dengan
demikian, RUPS merupakan organ tertinggi dan memegang wewenang tertinggi dalam
perseroan yang berbadan hokum PT. Anggora Dean Komisaris dan Dewan Direksi
diangakt dan diberhentikan oleh RUPS. Dewan komisaris bertugas untuk mengawasi
tindakan Dewan Direksi serta memberikan nasehat dan arahan kepada Dewan Direksi
dan menjalankan operasi perusahaan.dewan Direksi bertugas untuk menjalankan
kegiatan operasi perusahaan berdasarkan arahan dan garis besar kebijakan yang
telah ditetapkan oleh RUPS, Dewan Komisaris, serta Anggaran Dasar Perseroan
yang berlaku dalam koridor hokum.
2.6
Organisasi khusus
dalam penerapan GCG
Meskipun
ketentuan mangenai organ perseroan telah diatur dalam Undang-Undang Perseroan
Terbatas Nomor 47 Tahun 2007 dan selanjutnya dituang kembali di dalanm Anggaran
Dasar Perseroan, namun dalam praktiknya organ ini belum mampu menjamin
terselenggaranya tata kelola perusahaan yang sehat.
Indara
Surya dan Ivan Yustiavananda (2006) menyebutkan paling tidak diperlukan empat
organ tambahan untuk melengkapi penerapan GCG, yaitu:
1. Komisaris
Independen
2. Direktur
Independen
3. Komite
Audit
4. Sekretaris
Perusahaan
Komisaris dan Direktur Independen
Istilah
independent sering di artikan sebagai merdeka, bebas, tidak memihak, tidak
dalam tekanan pihak tertentu, netral, objektif, punya integritas, dan tidak
dalam posisi konflik kepentingan. Indra Surya dan Ican Yustiavandana (2006)
mengungkapkan ada dua pengertian independent terkait dengan konsep komisaris
dan direktur independent tersebut.
Pertama,
komisaris dan direktur independent adalah seseorang yang ditunjuk untuk
mewakili pemegang saham independent (pemegang saham minoritas). Sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Perseroan, anggota Direksi, dan Komisaris diangkat
dan diberhentikan oleh RUPS, sedangkan keputusan yang diambil dalam RUPS
didasarkan perbandingan jumlah suara para pememgang saham. Hak suara dalam RUPS
tidak didasarkan atas satu orang sat suara, tetapi didasarkan atas jumlah saham
u\yang dimilikinya. Sebagai konsekunsinya, keputusan penetapan dan
pemberhentian anggota komisaris dan direksi akan selalu berasal dari
kepentingan pemegang saham mayoritas.
Kedua,
komisaris dan direktur inderpenden adalah pihak yang ditunjuk tidak dalam
kepastian mewakili pihak mana pun dan semata-mata ditunjuk berdasarkan latar
belakang pengetahuan, pengalmana, dan keahlian professional yang dimilikinya
untuk menjalankan tugas demi kepentingan perusahaan. Jadi, pengertiannya disini
lebih luas dibandingkan pengertian pertama. Komosaris dan direktur independent
dinagkat semata-mata karena pertimbangan “profesionalisme” demi kepentingan
perusahaan.
Selain
kedua pengertian tersebut, sebenarnya masih ada pengertian ketiga yang biasa
dipakai dalam kode etik akuntan public, yang dalam konteks ini sering dikenal
dengan istilah independent in fact
dan independent in appearance. Independent in fact menekankan sikap
mental dalam mengambil keputusan dan tindakan yang semata-mata didasarkan atas
pertimbangan profesionalisme dari dalam diri yang bersangkutan tanpa campur
tangan, pengaruh, atau tekanan dari pihak luar. Independent in appearance dilihat dari sudut pandang pihak luar
yang mengharapkan calon yang bersangkutan secara fisik tidak mempunyai hubungan
darah dengan aperusahaan dan/atau dengan para pemangku kepentingan lainnya yang
dapat menimbulkan keraguan dari pihak luar tentang kenetralan yang
bersangkutan. Pada pengetian kedua mengenai komisaris dan direktu independent
yang telah disebutkan, pengertian tersebut sama denganpengetian independent in fact yang semata-mata
didasarkan atas pertimbangan profesionalisme saja. Namun dalam pengertian
ketiga, pertimbangan profesionalisme saja tidak cukup, persyaratan independent in appearance juga harus
dipenuhi.
Komita Audit
Undang-Undang Perseroan terbatas
Pasal 121 memunginkan Dewan Komisaris untuk membentuk komite tertentu yang
dianggap perlu untuk membantu tugas pengawasan yang diperlukan. Salah satu
komite tambahan yang kini banyak muncul untukmembantu fungsi Dewan Komisaris
adalah Komite Audit. Munculnya komite audit ini barangkali disebabkan
kecenderungan makin meningkatnya berbagai skandal penyelewengan dan kelalaian
yang dilakukan para direktur dan komisaris yang menandakan kurang memadainya
fungsi pengawasan.
Sebagimana dinyatakan oleh Hasnati
(dalam Indra Surya dan Ivan Yustiavandana, 2006), tugas, tanggung jawab, dan
wewenang komite audit adalah membantu dewan komisaris, antara lain:
1. Mendorong
terbentuknya struktur pengendalian intern yang memadai (prinsip tanggung
jawab).
2. Meningkatkan
kualitas keterbukaan dan laporan keuangan (prinsip transparansi)
3. Mengkaji
ruang lingkup dan ketepatan audit eksternal, kewajaran biaya audit ekstenal,
serta kemandirian dan objektivitas audit eksternal. (prinsip akuntabilitas)
4. Mempersiapkan
surat uraian tugas dan tanggung jawab komite audit selama tahun buku yang
sedang diperiksa eksternal audit (prinsip tanggung jawab).
Selanjutnya
Forum for Corporate Governance in Indonesia dan YPPMI Institutemenyebutkan
syarat-syarat untuk menjadi anggota Komite Audit adalah:
a. Komite
Audit bertanggung jawab kepada Dewan Direksi
b. Terdiri
atas sekurang-kurangnya 1 (satu) orang Komisaris Independen dan
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota berasal dari luar Emiten atau
perusahaan public.
c. Memiliki
integritas tinggi, kemampuan, pengetahuan, dan pengalaman yang memadai sesuai
latar belakang pendidikannya, serta mampu berkomunikasi dengan baik.
d. Salah
satu dari anggota Komite Audit memiliki latar belakang pendidikan keuangan dan
akuntansi.
e. Memilki
pengetahuan yang cukup untuk membaca dan memahami laporan keuangan.
f. Bukan
merupakan orang dalam Kantor Akuntan Publik yang memberikan jasa Audit dan/atau
non-audit pada Emiten atau perusahaan public yang bersangkutan dalam satu tahun
terakhir sebelum diangkat oleh Komisaris sebagaiaman dimaksud dalam Peraturan
VIII.A.2. tentang Independensi Akuntan yang memberikan jasa audit di pasar
modal.
g. Bukan
merupakan karyawan kunci Emiten atau perushaan public dalan satu tahun terakhir
sebelum diangkat komisaris.
h. Tidak
mempunyai saham baik langsung mapun tidak langsung pada emiten atau perusaah
public. Dalam hal komite audit memperloeh saham akibat suatu peristiwa hokum,
maka dalam jangka waktu paling lama enam bulan setelah diperolehnya saham
tersebut wajib mengalihkan kepada pihak lain.
i.
Tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan
Emiten, Komisaris, Direktu, atau Pemegang Saham Utama.
j.
Tidak mempunyai hubungan usaha baik
langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan kegiatan usaha Emiten.
k. Tidak
merangkap sebagai anggota Komite Audit pada Emiten atau perusahaan public lain
pada periode yang sama
l.
Sekretaris perusahaan harus bertindak
sebagai Sekretaris Perusahaan Audit.
Aturan
mengenai Komite Audit ini, antar alin dapat dilihat pada:
1. SE
Ketua Bapepam Nomor SE-03/PM/2000 tentang Komite Audit untuk perusahaan public.
2. Keputusan
Direksi PT BEJ Nomor Kep-305/BEJ/07-2004 tentang pencatatan saham dan efek
3. Keputusan
Menteri Negara Pendayagunaan Badan Usaha Milik Negara Nomor Kep-133/M-BUMN/1999
tentang Pembentukan Komite Audit bagi BUMN.
Sekretaris Perusahaan
Tugas, tanggung jawab, dan kedudukan
pejabat sekretaris perusahaan sebagi bagian dari pelaksanaan GCG berbeda sekali
dengan tugas, kedudukan, dan tanggung jawab seorang sekretaris eksekutif yang
selama ini sudah sangat dikenal. Sekretaris eksekutif biasnya direkrut sebagai
staf khusus untuk keperluan para eksekutif puncak suatu perusahaan, seperti:
direksi, komisaris atau ekesekutif puncak lainnya. Fungsi utama sekretaris
eksekutif lebih banyak untuk membantu pejabat eksekutuf yang bersangkutan,
antara lain: menyangkut pengaturan jadwal kegiatan, jadwal rapat, dokuemntasi
surat masuk dan surat keluar, penerimaan telepon, pengurusan tiket dan dokumen
perjalanan dan sebagainya.
Jabatan sekretaris perusahaan
menempati posisi yang sangat tinggi dan strategis karena orang dalam jabatan
ini berfungsio sebagai pejabat penghubung atau semacam public relation antar
perusahaan dengan pihak luar perusahaan, khususnya bagi perusahaan-perusahaan
besar yang telah mendaftarkan sahamnya dibursa. Tugas utama sekretaris
perusahaan antara lain menyimpan dokumenperusahaan, daftar pemegang saham,
risalah rapat direksi dan RUPS serta meyimpan dan meyediakan informasi penting
lainya bagi kepentingan seluruh pemangku kepentingan.
Aturan yang berkaitan dengan
sekretaris perusahaan ini dapat dilihat antara lain pada:
1. Keputusan
Ketua Bapepam Nomor 63 tahun 1996 tentang Pembentukan Sekretaris Perusahaan
bagi Perusahaan Publik.
2. Keputusan
Direksi BEJ Nomor 339 Tahun 2001 tentang Sekretaris Perusahaan.
2.7 GCG dalam BUMN
Pada awalnya tujuan dibentuknya BUMN
adalah merupakan penjabaran dan implementasi pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang
berbunyi “Bumi dan air kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
Negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Berdasarkan
peraturan yang ada, dapat dibedakan tiga jenis bentuk hukum BUMN yaitu Persero,
Perusahaan Umum (Perum), dan perusahaan jawatan (Perjan). Tjager dkk (2003)
selanjutnya mengungkapkan bahwa rendahnya kinerja BUMN ini ada kaitannya dengan
belum efektifnya penerapan tata kelola perusahaan yang baik di BUMN tersebut.
Contohnya pemberian remunerasi yang berlebihan kepada direksi.
Tujuan GCG diatur dalam pasal 4
adalah :
·
Memaksimalkan
nilai BUMN dengan cara meningkatkan prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dapat
dipercaya, bertanggung jawab, dan adil agar perusahaan memiliki daya saing yang
kuat, baik secara nasional maupun internasional.
·
Mendorong
pengelolaan BUMN secara professional, transparan, dan efesien, serta
memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemendirian organ.
·
Mendorong
agar organ dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi nilai
moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang
berlaku, serta kesadaran akan adanya tanggung jawab social BUMN terhadap para
pemangku kepentingan maupun kelestarian lingkungan di sekitar BUMN.
·
Meningkatkan
kontribusi BUMN dalam perekonomian nasional.
·
Menyukseskan
program privatisasi.
2.8 GCG dalam pengawasan pasar modal di Indonesia
Secara formal, pasar
modal dapat didefinisikan sebagai pasar dimana berbagai instrument keuangan
jangka panjang bisa diperjual belikan, baik dalam bentuk hutang maupun modal
sendiri, baik yang terbitkan oleh pemerintah maupun perusahaan swasta.
Keberadaan pasar modal ditentukan oleh lembaga-lembaga penunjang pasar modal,
antara lain:
1. Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan;
2. Bursa Efek;
3. Lembaga Kliring;
4. Investor;
5. Akuntan public;
6. Notaris;
7. Konsultan hukum.
2.9 GCG perbankan Indonesia
Menyadari tata kelola
perbankan di Indonesia masih lemah, dalam upaya menata kembali manajemen dan
kegiatan perbankan di Indonesia, Bank Indonesia mengeluarkan peraturan No
8/4/PBI/2006 pada tanggal 30 januari 2006 tentang implementasi GCG oleh
Bank-bank komersial. Secara garis besar, peraturan ini mengatur tentang:
- Prosedur pengelolaan melalui
penerapan prinsip transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab,independensi
dan kesetaraan
- Tujuan implementasi GCG,
minimal untuk merealisasikan:
·
Kejelasan tugas dan tanggung jawab Dewan komisaris dan Dewan
Dereksi
·
Kelengkapan dan implementasi tugas komite dan unit pelaksana
fungsi internal audit bank
·
Kinerja ketaan, fungsi auditor internal dan eksternal
·
Implementasi manajemen resiko termasuk system pengendalian
internal
·
Ketentuan dalam pihak-pihak terkait dan dana dalam jumlah besar
·
Rencana strategi bank
·
Transparansi kondisi keuangan dan non-keuangan
- Jumlah komposisi, kriteria dan
independensi Dewan Komisaris
- Jumlah, komposisi, kriteria dan
independensi Dewan Direksi
- Komite
- Ketaatan, Fungsi Auditor
Eksternal dan Internal
- Implementasi Management Resiko
- Ketentuan Dana
- Rencana Strategis Bank
- Aspek Transparansi Kondisi Bank
- Konflik Kepentingan dan
Pelaporan Internal
- Laporan dan Asesmen
Implementasi GCG
- Implementasi GCG di Cabang Luar
Negeri
- Sanksi-sanksi
- Ketentuan Peralihan
- Ketentuan Penutup
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Good corporate
governance (GCG) merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan
guna menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder. Konsep ini
menekankan pada dua hal yakni, pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk
memperoleh informasi dengan benar dan tepat pada waktunya dan, kedua, kewajiban
perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat
waktu, transparan terhadap semua
informasi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan stakeholder.
informasi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan stakeholder.
Terdapat
empat komponen utama yang diperlukan dalam konsep Good Corporate Governance,
yaitu fairness, transparency, accountability, dan responsibility. Keempat
komponen tersebut penting karena penerapan prinsip Good Corporate Governance
secara konsisten terbukti dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan dan juga
dapat menjadi penghambat aktivitas rekayasa kinerja yang mengakibatkan laporan
keuangan tidak menggambarkan nilai fundamental perusahaan.
Dari
berbagai hasil penelitian lembaga independen menunjukkan bahwa pelaksanan Corporate Governance
di Indonesia masih sangat rendah, hal ini terutama disebabkan oleh kenyataan
bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia belum sepenuhnya memiliki Corporate
Culture sebagai inti dari Corporate Governance. Pemahaman tersebut membuka
wawasan bahwa korporat kita belum dikelola secara benar, atau dengan kata lain,
korporat kita belum menjalankan governansi.
3.2. Saran
Untuk dapat memperoleh tata
kelola perusahaan yang baik, kita perlu memahami lebih dalam tentang Good
Corporate Governance yang mana dapat membantu kita membentuk perusahaan
yang baik sesuai dengan tujuan yang ditentukan oleh perusahaan sebelumnya. Oleh
sebab itu, pembahasan ini dapat membantu para pembaca untuk dapat dijadikan
referensi yang mengacu pada tata kelola perusahaan yang baik.
Daftar
Pustaka
Arafat, Wilson, Mohamad Fajri MP, Smart Strategy for 360 degree GCG
(Good Corporate Governance) (October
2009). Skyrocketing Publisher. ISBN 978-979-18098-1-8
Arafat,
Wilson, How To Implement GCG
Effectively (July 2008).
Skyrocketing Publisher.
Becht, Marco, Patrick Bolton, Ailsa
Röell, Corporate Governance and Control (October 2002; updated August 2004).
ECGI - Finance Working Paper No. 02/2002.
Miko Kamal, Undang Undang PT dan Harapan Implementasi GCG, www.alf.com,2008